Akses Sumber Daya Alam Indonesia, oleh Siapa dan Bagaimana?


KabarIndonesia - Dalam pembelajaran politik lingkungan, studi ini biasanya dimulai dengan dua kata tanya “siapa” (who) dan bagaimana (how). Dua kata tersebut kerap menjadi kata kunci (key word) dasar politik lingkungan dan berkembang menjadi sumber inspirasi pembelajaran studi ini. Dari kata tanya “siapa” dapat dikembangkan menjadi beberapa bentuk kalimat pertanyaan yang diantaranya bisa saling berpunggungan, “Siapa sebenarnya yang berhak atas akses pengelolaan sumber daya alam?”, “Siapa sebenarnya yang mendapatkan keuntungan atas akses pengelolaan sumber daya alam?”, dan “Siapa yang akan mendapatkan kerugian dan bencana atas pengelolaan sumber daya alam?”

Begitu pun dengan kata tanya “bagaimana”. Terkait dengan studi politik lingkungan, kata tersebut dapat berkembang menjadi, “Bagaimana seharusnya manusia mengelola lingkungan hidup?”, “Bagaimana seharusnya pengelola sumber daya alam mengompensasi bentang alam yang telah dibukanya?”, “Bagaimana pengelola sumber daya alam tersebut membangun hubungan yang konstruktif dengan pemangku kepentingan seputar potensi alam tersebut?”, dan sebagainya.

Ranjit Dwivedi (2001) sendiri dalam artikelnya, Environmental Movement in the Global South, memiliki penilaian bahwa pertanyaan “siapa” lebih dapat dilekatkan pada negara-negara Selatan, di mana studi politik lingkungan masih dominan diwarnai dengan teori konflik antara penguasa ekonomi politik dengan masyarakat dan sumber daya alam. Teori politik lingkungan masih diperuntukkan bagi perjuangan mempertahankan sumber daya alam sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat lokal. Maka tidak berlebihan apabila pertanyaan studi di kawasan Selatan masih diwarnai dengan pertanyaan, “Siapa yang seharusnya berhak mengupayakan sumber daya alam?”, dan kemudian akan berkembang menjadi, “Kepada siapa kebermanfaatan sumber daya alam itu dirasakan?”

Berbeda dengan kawasan Selatan, bagi Dwivedi negara-negara Utara berkencederungan untuk dapat dilekatkan dengan pertanyaan “bagaimana”. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik kawasan Utara yang memiliki kemampuan menciptakan generasi yang terpenuhi kebutuhan dasarnya dan telah tercapainya “nilai-nilai sosial yang lebih tinggi” daripada sekedar perjuangan pemenuhan kebutuhan harian. Belakangan, ekspektasi sosial kehidupan masyarakat Utara mulai merambah pada harapan atas peningkatan derajat kualitas hidup sehari-hari di tengah semakin terdegradasinya mutu lingkungan hidup akibat kemasifan industrialisasi. Maka pertanyaan dasar yang kerap muncul adalah, “Bagaimana seharusnya manusia memperlakukan lingkungan hidup demi kenyamanan kehidupan manusia?”

Namun terlepas dari dikotomi tersebut, alangkah lebih baiknya apabila pembelahan dua karakteristik studi politik lingkungan tersebut tidak menjelma menjadi tembok besar pembatas gerakan lingkungan yang kaku dan pada akhirnya tidak menjawab tantangan studi ini. Lebih besar manfaatnya apabila pertanyaan “siapa” juga meresap dalam permasalahan di kawasan Utara dan pertanyaan “bagaimana” juga menjadi pertanyaan mendasar bagi politik lingkungan negara-negara Selatan, termasuk Indonesia.


Konteks Indonesia


Negara ini tetap menjadi salah satu primadona keberagaman sumber daya alam sebagai basis bahan mentah bagi operasional industri, selain masih berlimpahnya keanekaragaman hayati Indonesia ditambah populasi manusia sebagai sumber pekerja sekaligus sasaran produk hasil industrialisasi.

Sebagai ilustrasi, kendati deposit minyak bumi Indonesia “tinggal” menyisakan 4,3 miliar barel dan hanya bertahan sekitar 20 tahun ke depan dan gas alam Indonesia “hanya” 1,5% dari 6.348 triliun kubik kaki, total deposit gas seluruh dunia (World Energy Council, 2006) tetap saja hal itu tidak mengurangi beragam pihak berkepentingan untuk berebut memperoleh hak pengelolaan sumber energi tersebut. Tercatat pihak Indonesia yang diwakili Pertamina hanya mampu menghasilkan 13% dari total produksi harian minyak bumi Indonesia—sisanya dihasilkan oleh pihak lain hingga total produksi 1,09 juta barel/hari pada 2005 (Yustika, 2007: 268).

Status negara ini selaku hot spot keberlimpahan sumber daya alam pun tidak susut menyusul kian surutnya deposit energi fosil Indonesia. Adalah sumber daya alam lainnya yang menjadikan negara ini tetap menjadi titik sentral perebutan dunia atas akses sumber daya alam. Tercatat Indonesia adalah salah satu penghasil pulp terbesar di dunia dengan menjadikan 120 juta meter kubik kayu sebagai bahan mentah industri pulp (Robin Wood, 2004: 3). Selang waktu delapan tahun (1995-2003) telah terjadi percepatan konversi hutan menjadi perkebunan sawit sebesar 118% dan menjadikan negara ini sebagai negara dengan produksi minyak kelapa sawit terbesar di dunia (FoE, 2004: 9). Indonesia juga dianggap sebagai negara dengan deposit panas bumi terbesar di dunia, sekitar 20.000 MW (Sumiarso, 2001).


Triple Bottom Line

Memahami begitu masifnya peradaban manusia dalam merusak lingkungan hidup, dan disertai dengan kehidupan manusia yang telah terjebak untuk bergantung pada sumber daya alam sebagai penyedia bahan mentah, seharusnya menjadikan instrumen sosial dan lingkungan hidup sebagai variabel yang setara dengan hitung-hitungan ekonomi dan politik.

Akhir-akhir ini, gagasan dan dorongan untuk merubah paradigma manusia untuk tidak hanya mendasari peradaban pada kalkulasi ekonomi politik saja, namun juga diimbangi dengan perhitungan sosial dan lingkungan hidup menghadirkan cara pandang yang berupaya menciptakan keseimbangan tiga elemen dasar kehidupan—economy prosperity, social justice, dan environmental sustainability atau disebut dengan triple bottom line/TBL. Dorongan untuk melakukan metamorfosis cara pandang kehidupan inilah yang kini dikenal dengan fase chrysalis economy (John Elkington, 2001 & 2005).

Begitu pun dengan cara masyarakat Indonesia dalam mengupayakan sumber daya alam negeri ini. Terlepas dari hegemoni negara, nasionalisme ataupun kepentingan daerah, mampukah masyarakat Indonesia untuk menciptakan keseimbangan TBL secara substansial?

Sebagai ilustrasi, dalam upaya penciptaan kesejahteraan ekonomi dan sosial, dapatkah pihak-pihak yang berkepentingan untuk mau mempertanggungjawabkan curahan finansial pajak, non-pajak, dana program pengembangan masyarakat yang—konon—dalam kabupaten terpencil saja bisa terakumulasi ratusan juta dolar per tahun. Begitu juga dengan isu keamanan sumber daya (resource security) yang sering terkait dengan keadilan sosial. Dapatkah pihak-pihak berkepentingan mempertanggungjawabkan sumber daya finansial dan operasional yang telah dilakukannya dengan kerap mengatasnamakan keamanan stabilitas negara (biasanya dikenal dengan label “support costs for government-provided security”).

Juga pada isu yang popular, yaitu upaya pengelolaan lingkungan hidup. Berkomitmenkah para stakeholders (pihak berkepentingan) untuk mau mengelola ekosistem dan sumber daya alam dengan kumpulan ilmu pengetahuan terbaik, termasuk dalam mengelola emisi dan limbah dengan teknologi terbaik, mengkompensasi bentang alam yang telah diubah dengan upaya konservasi secara maksimum, berperan aktif dalam mempertahankan, memelihara, dan meningkatkan keanekaragaman hayati (biodiversity), baik yang terancam punah (endangered species) maupun endemik, ataupun bersepakat untuk mau mencadangkan sebagian sumber daya alam demi pasokan kebutuhan generasi mendatang walau akan memangkas potensi ekonomi sedia kala.

Atau ternyata pihak-pihak berkepentingan di Indonesia telah terbiasa—dengan selubung hegemoni tertentu—seenaknya menguras sumber daya alam dengan beragam cara—termasuk suap, represi, dan pelanggaran hukum—serta meninggalkan luka sosial dan ekosistem yang tak terkira perihnya.

Pencapaian keseimbangan TBL—terlepas dari ragam tunggangan ideologi politik—lebih cenderung untuk mengkonsentrasikan diri pada “siapa” dan “bagimana” ekosistem dan sumber daya alam diperlakukan. Hanya pihak-pihak yang memiliki komitmen kuat untuk menyeimbangkan triple bottom line itulah yang sebenarnya layak untuk mengelola keberlimpahan sumber daya alam Indonesia. Hanya pihak-pihak yang mau mengusahakan hubungan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup secara konstruktif dalam waktu yang bersamaanlah yang sebenarnya layak untuk mendapat manfaat atas sumber daya alam Indonesia. Hanya dengan sinergi positif antara negara-swasta-masyarakat sipil, maka ide chrysalis economy dapat diterjemahkan untuk kebaikan dan pemenuhan kebutuhan generasi saat ini dengan tidak melupakan eksistensi generasi mendatang. (*)

Penulis adalah Staf Pengajar “Politik Lingkungan Hidup & SDA” FISIP UI dan Peneliti Lingkar Studi CSR Indonesia


Foto Ilustrasi: Fotosearch


Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik):
redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com//

0 komentar:

Post a Comment